ELIT POLITIK

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Di dalam masyarakat pada umumnya memilki kelas-kelas sosial tertentu dimana diantara masyarakat tersebut dibagi dalam golongan atas, menengah dan kelas bawah. Serta disamping itu ada juga yang menggolongkan kelas sosial masyarakat atas kelas yang diperintah dan kelas yang memerintah. Kelas yang memerintah inilah yang disebut oleh sebagian  para ahli ilmu sosial dengan istilah elit.

Dimana elit merupakan kelas sosial yang dianggap sebagai kelas sosial yang cukup tinggi di dalam masyarakat dan hanya bisa dimasuki oleh segolongan orang yang memilki kemampuan yang lebih dibandingakan orang lainya karena cenderung eksklusif dan tertutup untuk bisa dijangkau oleh kelas masyarakat biasa yang ingin menjadi elit.

Istilah “elit”, dipakai di perancis pada abad yang XVII untuk medeskripsikan sesuatu yang bagus sekali, dan beberapa waktu kemudian diaplikasikan ke dalam kelompok sosial yang unggul dalam beberapa hal, akan tetapi istilah ini tidak dipakai secara luas dalam pemikiran sosial dan politik sebelum abad XIX, ketika seperti disinggung diatas, istilah ini mulai masuk dengan melalui teori elit sosiologis yang diajukan oleh Villfredo Pareto.

Didalam makalah ini akan dibahas mengenai apa yang dimaksud dengan elit dan segala aspeknya dengan secaara ebih mendalam dan lebih tajam.

  1. Rumusan Masalah

Adapun untuk perumusan masalah, penulis mengambil hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan.

  1. Apa definisi elit
  2. Bagaimana untuk menentukan elit politik
  3. Bagaimana cara elit mempertahankan kekuasaan
  4. Bagaimana hubungan elit dan kekuasaan
  1. Tujuan Penulisan
  2. Untuk mengetahui apa sebenarnya Definisi Elit tersebut
  3. Untuk mengetahui bagaimana untuk menentukan elit politik
  4. Untuk mengetahui bagaimana cara elit mempertahankan kekuasaan
  5. Untuk mengetahui bagaimana hubungan elit dan kekuasaan.
  1. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan dalam makalah ini, penulis menggunakan metode secara library research, yaitu suatu metode untuk mendapatkan data informasi dengan jalan mempelajari dan mengutip dari berbagai buku yang sesuai dengan judul dari makalah yang penulis buat ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Latar Belakang Munculnya Teori Elit Politik

Kata “Elite” Di beberapa referensi baik berupa buku, majalah, koran, kita sering menjumpai kata elite. Secara etimologi, istilah elite berasal dari kata latin eligere yang berarti memilih. Pada abad ke 14, istilah ini berkembang menjadi a choice of persons (orang-orang pilihan). Kemudian pada abad ke 15, dipakai untuk menyebutkan best of the best ( yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya pada abad ke 18, dipakai dalam bahasa Perancis untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Sementara itu, Amitai Etzioni mendefinisikan elite sebagai kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan. Menurut Oxford English Dictionary, istilah elite digunakan dalam bahasa Inggris paling awal pada tahun 1823, dan kemudian mulai tersebar secara luas melalui teori-teori sosiologi tentang kelompok-kelompok elite, terutama dari hasil pemikiran Pareto. Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Bottomore, istilah elite secara umum digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat.

Pada awalnya teori elit politik lahir dari diskusi seru dari para ilmuwa amerika serikat (AS) antara Joseph A. Schumpter (1883-1950), Imperialism And Social Clasess (ekonom), Harold D laswell, Daniel Lerner dan C.E. Rothwell, The Comparative Study Of Elites (ilmuwan politik) dan C. Wright Mills, The Power Elite, yang melacak tulisan-tulisan dari para pemikir eropa pada masa awal munculnya fasisme, khuhsusnya Villfredo Pareto (1848-1923) dan Gaetano Mosca (1858-1941), Roberto Michells (1876-1936) dan Jose Ortega Y. Gesset percaya bahwa setiap masyarakat dipeintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang di perlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang mampu menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupan yang terbaik. Mereka adalah yang disebut dengan atau sebagai istilah elit. Ellite, merupakan orang-orang yang berhasil yang mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Karena itu muncul pandangan Villfredo Pareto, maasyarakat terbagi atas dua kelas yaitu (a). Lapisan atas, yaitu elit yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-goverming elite), (b). Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit. Villfredo Pareto sendiri lebih memusatkan perhatianya kepada elit yang memerintah.

Namun demikan teory elit (elite theory) bahwa perkataan “elite”, dipakai di perancis pada abad yang XVII untuk medeskripsikan sesuatu yang bagus sekali, dan beberapa waktu kemudian diaplikasikan ke dalam kelompok sosial yang unggul dalam beberapa hal, akan tetapi istilah ini tidak dipakai secara luas dalam pemikiran sosial dan politik sebelum abad XIX, ketika seperti disinggung diatas, istilah ini mulai masuk dengan melalui teori elite sosiologis yang diajukan oleh Villfredo Pareto (1848-1923) dan dalam bentuk yang berbeda oleh Gaetano Mosca (1858-1941). Villfredo Pareto memulai untuk definisi umum untuk elite, yakni sebagai kelompok orang yang punya indeks kemampuan yang tinggi dalam aktivitas mereka, apapun bentuknya akan tetapi dia kemudian mengkonsentrasikan diri  pada apa yang disebutnya sebagai “elite penguasa” ysng dipertentangkan dengan masa yang tidak berkuasa. Konsep ini dalam beberapa hal, didasrkan pada konsep Gaetano Mosca (orang yang pertama kali berusaha mnyusun ilmu politik baru berdasrkan perbedaan antara kelompok elit dengan maasa) yang meringkaskan konsep umumnya dengan mengatakan bahwa di semua masyarakat ada stu hal yang menonjol, yakni “dua kelas manusia – kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai”.[1]

 

  1. DEFINISI ELIT

Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang elit :

  1. Menurut Laswell

Elit Politik mencakup semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik. Elit ini terdiri dari mereka yang berhasil mencapai kedudukan dominant dalam sistem politik dan kehidupan masyarakat. Mereka memiliki kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.

  1. Menurut para teoritikus politik

Elit Politik adalah mereka yang memiliki jabatan politik dalam sistem politik. Jabatan politik adalah status tertinggi yang diperoleh setiap warga Negara. Dalam sistem politik apapun, setiap struktur politik atau struktur kekuasaan selalu ditempati oleh elit yang disebut elit politik atau elit penguasa.

  1. Menurut Mills

Bahwa elit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada pranatapranata utama dalam masyarakat. Dengan kedudukan tersebut para elit mengambil keputusan keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

  1. Menurut Gaetano Mosca

Dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas penduduk, satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas penguasa jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, menopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, Sedangkan kelas yang kedua jumlahnya lebih besar dan dikendalikan oleh kelas penguasa.

Elit Politik merupakan kelompok kecil dari warga negara yang berkuasa dalam sistem politik. Penguasa ini memiliki kewenangan yang luas untuk mendinamiskan struktur dan fungsi sebuah sistem politik. Secara operasional para elit politik atau elit penguasa mendominasi segi kehidupan dalam sistem politik. Penentuan kebijakan sangat ditentukan oleh kelompok elit politik.

  1. Karl W. Deutch

Bahwa pelaku politik utama dalam suatu sistem politik disebut elit politik. Elit politik terdiri dari dua tingkatan yaitu: Elit Politik Tinggkat Tinggi dan Elit Politik Tingkat Menengah.

  1. Elit Politik Tingkat Tinggi dalam suatu sistem politik atau Negara meliputi presiden (perdana menteri) dan para menteri
  2. Elit Politik Tingkat Menengah yaitu para penguasa dibawah menteri dan para pemimpin daerah yang bertugas untuk mengimplementasikan program dan kebijakan yang dibuat oleh elit politik tingkat tinggi.
  1. Menurut Henri Comte

Dasar fundamental dari pendekatan elit adalah masyarakat dianggap sebagai suatu piramida dimana yang duduk dipuncaknya disebut elit. Kelompok elit adalah suatu fenomena yang abadi akan selalu lahir dan tidak mungkin tidak ada dalam suatu masyarakat. Walaupun pergantian organisasi berobah tetapi kelompok elit itu sendiri tidak akan pernah hilang. Menurut Henri yang termasuk kelompok elit adalah para ilmuwan, seniman dan industrialis. Para kelompok elitlah yang membuat kebijakan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Bila ingin merubah suatu sistem maka kelompok elitlah terlebih dahulu harus diubah.

  1. Menurut Heppolyte Taine

Elit bukan terdiri dari para ilmuwan, seniman dan industrialis tetapi adalah Raja, Bangsawan dan Pendeta. Elit ini tidak mungkin hilang dalam suatu masyarakat. Pemikiran Taine banyak dipengaruhi oleh revolusi Perancis.

  1. Menurut Ludwig Gumplowis

Masyarakat bukanlah seperti piramida melainkan orang orang yang mengawasi dan yang diawasi. Yang mengawasi adalah pemerintah dan jumlahnya minoritas sedangkan yang diawasi jumlahnya mayoritas. Elit secara psikologis cenderung superior.

  1. Menurut Karl Marx

Politik adalah suatu perjuangan kelas. Stratifikasi social ini akan hilang atau berobah dengan jalan kekerasan. Pemikiran Marx dipengaruhi oleh kelas proletariat, dimana elit dapat berubah dengan melalui revolusi.[2]

  1. METODE PENENTUAN ELIT POLITIK

Untuk mengidentifikasi siapa yang termasuk dalam kategori elit politik:

  1. Metode Posisi

Elit politik adalah mereka yang menduduki posisi atau jabatan strategis dalam sistem politik. Jabatan strategis yaitu dapat membuat keputusan dan kebijakan dan dinyatakan atas nama Negara. Elit ini jumlahnya ratusan mencakup para pemegang jabatan tinggi dalam pemerintahan, perpol, kelompok kepentingan. Para elit politik ini setiap hari membuat keputusan penting untuk melayani berjuta-juta rakyat.

  1. Metode Reputasi

Elit politik ditentukan bedasarkan reputasi dan kemampuan dalam memproses berbagai permasalahan dan kemudian dirumuskan menjadi keputusan politik yang berdampak pada kehidupan masyarakat.

  1. Metode Pengaruh

Elit politik adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh pada berbagai tingkatan kekuasaan. Orang ini memiliki kemampuan dalam mengendalikan masyarakat sesuai kemampuan pengaruh yang dimiliki, sehingga masyarakat secara spontan mentaati para elit politik. Oleh karena itu orang yang berpengaruh dalam masyarakat dapat dikategorikan sebagai elit politik.

Ketiga metode penentuan elit tersebut diakui dan dianut oleh berbagai Negara. Namun ada negara yang dominan menggunakan metode posisi atau metode reputasi. Disamping itu ada juga Negara yang mengkombinasikan ketiga metode tersebut untuk memperoleh hasil yang sesuai dalam mengkategorikan mereka yang tergolong sebagai elit politik. [3]

Tipe Elit Politik

Beberapa pendapat :

Menurut Machiavelli ada dua tipe elit politik dalam memerintah

(1)Elit politik yang memerintah dengan kelicikan

(2) Elit politik yang memerintah dengan cara paksa.

Menurut Villfredo Pareto, elit terbagi atas dua:

  1. Governing elit, dan
  2. Non Governing elit[4]

Sekelompok orang yang mempunyai bakat yang menonjol dalam kegiatan bidang tertentu dalam hal ini bidang politik. Analisa pareto didasarkan dari sudut psikologi, bahwa ada sifat elit yang menonjol, sifat menonjol itu disebut residu. Untuk Pareto, Residu diartikan sebagai suatu manifestasi dari perasaan orang-orang yang menonjolkan diri dalam bentuk-bentuk kegiatan.

Tipe residu Menurut Pareto:

  1. Residu of Combination

Yaitu manifestasi yang mempunyai indikasi adanya intelegensia ketajaman berfikir dan penggunaan akal rasional. Tipe ini bercirikan; memerintah dengan cara rasional dan intelegensia tinggi walaupun kadang-kadang dengan tipu muslihat yang licik. Tipe ini tidak mempunyai kekuatan sehingga pada saat diperlukan kekuatan atau kekerasan maka elit ini akan jatuh.

  1. Residu of Agregation

Merupakan suatu bentuk manifestasi yang mewujudkan atau menonjolkan kekerasan, sifat patriotis dan konservatif.

Tipe ini bercirikan selalu menonjolkan kekerasan dan ancaman, tetapi tidak berarti elit ini tidak akan jatuh, justru dengan kekerasan biasanya mereka akan memancing timbulnya revolusi-revolusi baru.

Menurut Pareto  kombinasi  kedua tipe tersebut merupakan yang terbaik, karena menurut pareto elit yang ragu-ragu menggunakan kekerasan akan menjadi lemah tetapi sebaliknya elit yang selalu menggunakan kekerasan akan memancing timbulnya pergantian elit secara revolusioner. Supaya tidak terjadi pergolakan dan instabilitas didalam pergantian elit menurut pareto maka perlu diadakan sirkulasi elit.

Tipe Elit Politik Dalam Memerintah:

  1. Elit Politik yang memerintah dengan kelicikan.

Dinegara yang menganut sistem politik demokrasi para elit politik dominant menggunakan cara memerintah dengan kelicikan. Para elit politik berupaya untuk mengabsahkan atau merasionalkan kekuasaan elit politik dengan menggunakan cara penyerapan atau derivasi (derivation). Derivasi (derivation) Yaitu suatu usaha mempertahankan elit dengan menggunakan akal rasional yang sifatnya sengaja membenarkan tindakan –tindakan elit dengan isu-isu tertentu kalau perlu dengan isapan jempol.

  1. Elit Politik yang memerintah dengan cara paksa

Elit politik yang memerintah dengan cara paksa kebanyakan terdapat di Negara-negara yang menganut sistem politik komunis atau sistem politik otoriter. Para elit politik atau elit berkuasa menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mewujudkan keinginan dan kepentingan politik. Di Negara-negara yang menganut sistem politik komunis para elit politik menggunakan cara paksa untuk memerintah masyarakat dalam berbagai segi kehidupan. Sehingga rakyat atau masyarakat yang dikuasai tidak memilki kebebasan untuk menentukan cara hidup menurut keinginan individu atau warganegara.

  1. Elit Politik konservatif

Elit berusaha mempertahankan kekusaannya denga berorientasi pada kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Untuk mempertahankan kepentinganpribadi mereka elit cenderung mempertahankan keadaan politik yang sedang mereka kuasai.

Segala aturan yang ada dijalankan menurut kehendak elit penguasa yang ada, sehingga tidak memberi peluang kepada pihak lain untuk mengendalikan atau mempengaruhi elit politik yang sedang berkuasa.

  1. Elit Politik liberal

Sikap elit cenderung berorientasi pada kepentingan rakyat umum dan elit politik selalu bersikap tanggap dan peduli terhadap berbagai tanggapan dan tuntutan masyarakat. Sikap elit politik ini membuka kesempatan yang seluas-luasnya pada setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan mengaktualisasi diri untuk mampu memenuhi kehidupan menurut mekanisme sistem politik yang ada.

Orientasi para elit politik liberal yaitu berupaya untuk membina dan memberi kebebasan anggota masyarakat atau warga Negara untuk meningkatkan status social. Dalam hal ini individu atau warganegara dibebaskan menurut aturan atau perundang-undangan Negara. Untuk itu warganegara secara bebas meyampaikan berbagai kepentingan sesuai dengan kehendak warganegara yang bersangkutan.

Untuk melancarkan mekanisme sistem politik liberal maka para elit politik atau elit penguasa harus mampu mengakomodasi berbagai berbagai tuntutan masyaraka atau warga Negara. Kemudian tuntutan itu diolah menurut mekaisme sistem politik liberal yang pada akhirnya menghasilkan berbagai kebijakan atau keputusan yang dapat menjawab berbagai tuntutan masyarakat. Keputusan atau kebijakan ini juga memberi kesejahteraan pada anggota masyarakat.

Elit politik liberal bertindak secara demokratis untuk menghargai hak-hak warganegara dan terbuka terhadap berbagai golongan. Kolaborasi diantara diantara para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan tidak dibenarkan.

  1. Cara Elit Mempertahankan Kekuasaan
  1. Intimidasi

Yaitu manipulasi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam elit sehingga setiap orang akan selalu cenderung untuk menyesuaikan diri.

  1. Ekslusivisme

Dengan cara menutupi lingkungan elit dari pengetahuan umum. Kesalahan-kesalahan elit dirahasiakan sehingga masyarakat akan tidak pernah tahu dan dengan demikian elit akan tetap mendapat dukungan dari masyarakat.

  1. Formula Politik atau Resep-Resep Politik

Mengekploitir nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat untuk memperoleh dukungan.

  1. Dengan Cara Sirkulasi

Umumnya ada sekelompok orang di bawah lapisan elit yang menggunakan kesempatan untuk merebut kekuasaan elit kemungkinan hal ini dapat diperkecil dengan cara menarik orang-orang tertentu di bawah elit untuk masuk ke dalam elit sehingga terjadi sirkulasi yang dapat menghambat perebutan kekuasaan

  1. Dukungan Angkatan Bersenjata

Kemampuan kekuatan militer yang solid dan loyal terhadap elit menjadikan elit dapat mempertahankan kekusaan dalam sebuah sistem politik.

  1. Teori Elit dan Kekuasaan

Elit adalah individu-individu yang berhasil memiliki bagian terbanyak dari nilai-nilai dikarenakan kecakapannya, serta sifat-sifat kepribadian mereka; dan karena kelebihan tersebut maka mereka terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu elit adalah individu-individu yang menduduki posisi puncak dalam institusi ekonomi, politik dan militer.

Teori elit diarahkan untuk menentang gagasan sosialisme marxis tentang kelas penguasa yang kekuatan politiknya didasarkan atas kepemilikan alat-alat produksi, dan yang disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Sementara itu bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan.

Marxime merupakan perspektif utama yang menjadi garda terdepan dalam mengkritisi kapitalisme meskipun dalam bentuk yang sangat variatif. Karl Marx mempelopori studi kritis tentang cacat dalam sistem kapitalisme dalam buku Das Kapital yang terbit dalam tiga jilid. Kapitalisme menurutnya merupakan perkembangan dari sejarah penindasan dan ketidak adilan yang sudah ada sebelumnya yang menciptakan kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Marx melawan ketidak adilan kapitalisme, yang membuat jurang dalam antara penguasa dengan yang diperintah, mengekspoloitasi kelas menengah dan bawah seperti buruh akibat kapitalisme sehingga tidak terhindarkan lagi kelas penguasa dan kelas diperintah akibat terlalu dalamnya jurang pemisah yang dibuat oleh sistem kapitalis.

Konsep elit yang di kemukakan dalam uraian tersebut di atas dapat kita kemukakan bahwa konsep elit dalam setiap masyarakat akan terdapat dua kelas penduduk yaitu satu kelas yang berkuasa the rulling class dan satu kelas yang dikuasai the rulled class; pendapat ini lebih di jelaskan mendasar oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto dan Robert Michels tentang teori elit klasik. Pejabat yang menduduki posisi tinggi dalam lembaga pemerintahan, secara politik dianggap berkuasa; kelas pertama, jumlahnya kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan tersebut; kelas kedua, jumlahnya besar dan diatur, serta dikendalikan oleh kelas pertama. Menurut penulis ada kelompok yang memiliki kekuasaan dan ada yang tidak memiliki, sehingga pejabat-pejabat yang menduduki posisi tinggi dalam lembaga pemerintahan atau secara strukturalisme memiliki kekuasaan, secara politik dianggap punya power untuk menindas, dan seperti lembaga pemerintahan formal ini biasanya diangap sebagai peta hubungan kekuasaan. Penulis menganalis bahwa memang elit penguasa bertindak sewenang-wenang, teori ini memang relevan dengan persoalan yang dilanda negeri kita hari ini karena telah memiliki kekuasaan terhadap kelas bawah, Marx memang tidak bisa di pisahkan dalam pembahasan teori elit, yang selalu punya pandangan agar kelas penguasa tidak menindas kelas bawah, penghapusan kepemilikan pribadi oleh Marx adalah solusi pemikirannya untuk mengurangi jenjang ketimpangan social di masyarakat “sama rata sama rasa” kepemilikan adalah Negara, pengahapusan kepemilikan pribadi. Pandangan Marx selalu mengalir sampai hari ini mengenai paradigma kelas.

Untuk mengetahui bagaimana institusi politik beroperasi, bagaimana keputusan penting dibuat maka informan yang paling relevan adalah para elit politik. Elit didefinisikan sebagai “mereka yang berhubungan dengan, atau memiliki, posisi penting”. Elit politik berkaitan dengan seberapa kekuasaan seseorang berpengaruh pada pembuatan kebijakan pemerintah. Disini peran elit adalah bagaimana mempengaruhi proses pembuatan kebijakan agar kebijakan tersebut berpihak pada kepentingan elit dan bukan kepentingan publik. Teori elit menyodorkan sebuah argument yang cukup telak tentang hal ini dengan menyatakan bahwa sebagian besar rakyat pada hakekatnya merupakan pihak yang apatis dan buta informasi mengenai kebijakan publik, sehingga dengan demikian para elit penguasalah yang sesungguhnya mewarnai dan mempengaruhi pendapat umum yang menyangkut masalah-masalah kebijakan, bukan rakyat yang mempengaruhi pendapat golongan elit (Wahab:88). Disini posisi rakyat tidak di perhitungkan karena segala bentuk kebijakan hanya untuk mengokohkan status golongan elit sebagaimana yang diungkapkan oleh Wertheim bahwa masa memang tidak diperhitungkan atau jika citra tentang masa itu ada maka mereka itu adalah suatu kelompok yang dibuat sangat terlihat dan terutama mereka dianggap sebagai ancaman (Wertheim:4). Model elit ini memandang administrator Negara bukan sebagai abdi rakyat (servant of the people), tetapi lebih sebagai kelompok-kelompok kecil yang telah mapan (Islamy:39). Disini Administrator dalam membuat kebijakannya selalu merepresentasikan kebutuhan golongan elit semata dan bukan untuk kepentingan massa rakyat.

Adapun seberapa besar seseorang (aktor) berpengaruh pada pembuatan kebijakan dipengaruhi beberapa faktor di antaranya: minat pada politik, pengetahuan dan pengalaman politik, kecakapan dan sumber daya politik, partisipasi politik, kedudukan politik serta kekuasaan politik. Menurut stratifikasi politik yang disusun oleh Pareto maka mayarakat itu terdiri atas dua kelas yaitu: Pertama adalah lapisan atas, yaitu elit yang terbagi dalam elit yang memerintah (governing elit) dan elit yang tidak memerintah (non governing elit), Kedua adalah lampisan masyarakat yang lebih rendah, yaitu non elit (lihat dalam Varma:202). Disini Pareto meyakini bahwa setiap masyarakat di perintah oleh sekelompok kecil orang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan social dan politik yang penuh (lihat dalam Varma:202). Merujuk pada apa yang dikemukakan di atas maka elit ini tidak bisa dipisahkan dalam persoalan kekuasaan, dan kualitas yang dimiliki oleh elit ini membuat mereka dipercaya oleh golongan non elit.

Relevansi stratifikasi politik di sini adalah untuk mengidentifikasi elit politik dalam pembuatan kebijakan daerah. Berdasarkan uraian Pareto di atas, maka para elit yang dimaksud adalah:

  1. Kelompok pembuat keputusan, yaitu orang-orang yang umumnya menduduki jabatan resmi utama yang secara langsung terlibat dalam pembuatan kebijakan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah para pimpinan dan anggota DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislative daerah serta Kepala Daerah dan Wakil sebagai pemegang kekuasaan eksekutif daerah, Sekretaris Daerah yang secara organisatoris memegang fungsi perumusan kebijakan daerah, para staf ahli Kepala Daerah, Asisten Bidang Administrasi Pemerintahan, Kepala Bagian Tata Pemerintahan, Kepala Bagian Hukum dan konsultan resmi.
  2. Kaum berpengaruh, yaitu individu yang memiliki pengaruh langsung atau implikasi kuat. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain, Partai Politik, LSM, Pemimpin Agama, Tokoh masyarakat, Pengusaha, Akademisi dan lain sebagainya yang di anggap mampu mempengaruhi kebijakan.[5]

Selain ada elit yang berkuasa (the rulling elit), ada juga elit tandingan yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Artinya massa memegang kontrol jarak jauh atas elit yang berkuasa tetapi karena mereka tidak begitu acuh dengan permainan kekuasaan, maka tak bisa diharapkan mereka akan menggunakan pengaruhnya. Yang mendorong elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah menurut para teoritisi politik karena hanya dorongan kemanusiaan yang tidak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan.

Pareto tidak hanya mengemukakan pendekatannya lewat teori elitnya terhadap politik tapi Pareto juga membahas tentang berbagai jenis pergantian antar elit, yaitu: Pertama, diantara kelompok-kelompok elit yang memerintah itu sendiri, dan kedua, antara elit dan penduduk lainnya. Pergantian yang terakhir ini bisa berupa pemasukan individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada, atau individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada (lihat dalam Varma:1990:203). Dari apa yang di kemukakan oleh Pareto sebagaimana yang di uraikan diatas, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa para elit ini sebenarnya adalah lapisan bawah dan golongan non elit ini sebenarnya mempunyai peran besar dalam melahirkan golongan elit. Menurut Ortega dalam Varma, mengatakan bahwa kebesaran suatu bangsa sangat tergantung kemampuan rakyat, masyarakat umum, kerumunan, massa, untuk menemukan symbol dalam orang pilihan tertentu, kepada siapa mereka mencurahkan segala antusiasme vital mereka yang sangat luas. Lebih lanjut Ortega mengatakan bahwa orang-orang yang terpili adalah orang terkenal dan merekalah orang yang membimbing massa yang tidak terpilih seperti mereka

  1. DEMOKRASI ELITIS VS PARTISIPATORIS

John devey dapat dipandang sebagai pemberi dasar filosofis atas apa yang kemudian dikenal sebagai teori demokrasi partisipasi (participatory democracy). Konsepnya tentang utilitarianisme subjektif, yang menimbulkan akibat pada keberadaan suatu “masyarakat yang terbuka”, suatu pengutamaan kehendak individu dan penolakan terhadap nilai-nili kekuasaan yang bersifat total. Bagi Dewey, jantung demokrasi adalah suatu keadaan dimana pilihan manusia merupakan pimpinan utama. Suatu masyarakat demokrasi tergantung pada konsesus sosial dengan pandangan pada perkembangan manusia, yang menurut dewey, didasarkan atas “kebebasan” tidak sepenuhnya bersifat egosentris. Ia membedakan antara “kebebasan untuk bertindak”, yang kadangkala yang bisa bersifat anti sosial, dengan “kebebasan berpikir” (yang tumbuh dari tipe pendidikan yang benar) yang akan merangsang keharmonisan sosial dan bahkan kepentingan besama.[6]

Dikotomi secara tegas mengenai aspek otoritas rakyat dan kekuasaan dikenal di dalam teori elite yang berkembang pasca Perang Dunia I. Secara konseptual, teori ini membagi masyarakat dalam dua kategori utama; sekelompok kecil manusia yang memerintah dan sejumlah besar massa untuk diperintah.

Pandangan ini muncul dari beberapa pemikir yang cenderung bersikap sinis terhadap pemahaman demokrasi pada masa itu. Bahkan Vilfredo Pareto, seorang pemikir teori elite, mengidentikkan demokrasi dengan korupsi, mesin politik,serta‘gangsterisme’ (SP Varma,1987). Sebagian besar elite percaya bahwa pengambilan keputusan haruslah bersifat eksklusif. Pemahaman ini berasal dari kepercayaan bahwa mereka adalah ‘makhluk superior’ terpilih yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan sebagian besar yang tidak terpilih.

Pemahaman seperti ini juga sepertinya yang melandasi argumentasi sebagian anggota DPR yang bersikukuh melaksanakan pembangunan gedung baru dan studi banding ke luar negeri.Penolakan masyarakat boleh jadi diartikan sebagai ketidakmampuan masyarakat untuk memahami pemikiran superior yang mereka miliki. Tidak heran kalau penolakanpenolakan tersebut hanya berujung menjadi materi yang memenuhi tempat sampah mereka.

Kondisi ini tentu saja berbanding terbalik dengan perkembangan sejarah pemahaman demokrasi kontemporer yang terjadi di berbagai belahan dunia.Demokrasi partisipatoris (participatory democracy) telah menjadi tradisi baru yang berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang membuka akses luas bagi masyarakat sebagai penentu kebijakan. Di dalam demokrasi partisipasi ini, partisipasi efektif menjadi salah satu prasyarat yang harus dijamin keberadaannya.

Partisipasi efektif ini dapat diartikan sebagai kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif (Dahl,1985). Keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan ini bisa bersifat konsultatif ataupun dalam konteks peran yang dimainkan. Secara konsultatif,masyarakat berhak untuk memberi masukan dan diberitahukan mengenai argumentasi dalam pengambilan kebijakan.

Sementara dalam konteks peran serta, masyarakat diposisikan sejajar sebagai mitra dalam proses pengambilan keputusan (Cormick, 1979). Dari pemahaman ini dapat terlihat bahwa proses pengambilan keputusan yang menihilkan peran serta masyarakat adalah bentuk penistaan terhadap demokrasi itu sendiri. Suatu bentuk penistaan yang ‘menyunat’ hak masyarakat baik secara konsultatif ataupun dalam sifat perannya sebagai pemilik kedaulatan.[7]

  1. KRITIK TERHADAP ELIT POLITIK

Awal dari kemunculan pemikiran Elite Theory dimulai dari kekurangan yang terdapat pada pemikiran teori-teori sebelumnya yaitu pemikiran Marxis dan liberal dalam melihat pola hubungan yang terbentuk di antara negara dengan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi inilah yang dicoba dilihat oleh para pemikir dari aliran ini, seperti Mosca dan Pareto. Selain itu terdapat ketidakadilan yang tidak dapat terhindarkan antara elit dan massa dalam pembagian kekuasaan. Namun terdapat perbedaan mendasar dalam pemikiran Mosca dan Pareto. Mosca menolak superioritas intelektual dan moral karena dapat dimanipulasi oleh kaum elit, sebaliknya Pareto memandang nilai-nilai yang lebih personal dan psikologis sebagai nilai tambah kekuatan pemerintahan. Anggapan dasar yang mulai terbentuknya teori ini adalah anggapan bahwa sebenarnya negara hanya di jalankan oleh para rakyat-rakyat minoritas yang tidak mempunyai kekuasaan secara mutlak. Para pemangku kebijakan hanya membuat sebuah peraturan yang untuk selanjutnya dijalankan oleh para masyarakat dan dipatuhi oleh masyarakat secara keseluruhan.

Pada hakekatnya hal ini sepertinya sudah dirasakan oleh sebagian masyarakat dunia. Karena pada hakekatnya kondisi seperti tersebut tidak mampu untuk di pisahkan satu sama lainnya. Rakyat minoritas tentunya tidak akan mampu bertindak diluar peraturan, karena mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan hal tersebut. Kondisi seperti inilah yang coba di manfaatkan oleh para kaum elite untuk menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk mengatur para masyarakat kelas minoritas. Akan tetapi apabila dilihat secara keseluruhan teori ini tidak mampu memberikan sebuah solusi atas permasalahan yang terjadi. Para pemikir seperti Mosca dan Pareto sepertinya tidak mampu memberikan solusi alternatif dari tanggapan mereka yang menolak pandangan Marxis yang menitikberatkan pada revolusi kelas. Teori ini hanya menekankan mengenai hubungan negara dan masyarakat dalam konteks keterbatasan serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh para aktor-aktor di dalamnya. Kritik selanjutnya terhadap teori elit adalah teori ini justru memandang ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan antara elit dan massa sebagai bukti dari kekuatan elit itu sendiri, bukan sebagai kelemahan dari sistem politik, karena  ini bukan bukti dari ketidakadilan kekuasaan, melainkan ketidakadilan dalam struktur seperti kelas, ras, dan jender yang seringkali menjadi objek dan tereksklusi.[8]

  1. Elit Politik Dalam Perpolitikan Indonesia Era Reformasi

Menurut Mac Iver, partai politik adalah “suatu kumpulan terorganisasi untuk menyokong suatu prinsip atau kebijaksanaan (policy) yang oleh perkumpulan itu diusahakan dengan cara-cara sesuai dengan konstitusi atau Undang-undang agar menjadi penentu cara melakukan pemerintahan”. Prof. Miriam Budiardjo sendiri dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik” menyebutkan beberapa fungsi dari partai politik: Pertama adalah partai politik sebagai sarana komunikasi politik atau sebagai sarana artikulasi kepentingan rakyat. Dalam sebuah negara, setiap warga negara tentu mempunyai pendapat dan aspirasi yan berbeda-beda. Hal itu tentu akan menyulitkan ketika setiap orang ingin didengar aspirasinya. Partai politik berperan sebagai penampung dan penggabung pendapat dari setiap warga negara tersebut (interest aggregation). Kemudian aspirasi-aspirasi tersebut dirumuskan menjadi bentuk yang lebih teratur (interest articulation) dan diterapkan oleh partai ke dalam program partai. Program-program tersebut yang kemudian diperjuangkan oleh partai politik di level pemerintahan untuk diaplikasikan ke dalam kebijakan publik.

Jika kita melihat realitas yang kita saksikan dengan mata kita, di layar televisi, di koran-koran, di bumi pertiwi indonesia tercinta ini, apa iya partai politik sebagai sarana komunikasi politik untuk kepentingan rakyat? Atau para elit politik di indonesia ini hanya sebagai jembatan untuk mendapatkan kekuasaan, serta ingin GILA HORMAT? Maraknya kasus Nazarudin, Angelina Sondakh, lalu masih banyak yang lain, ini membuktikan bahwa Prinsip, sistem Partai politik yang sebenarnya sangat bagus untuk mendukung pemerintahan malah di selewengkan oleh para pelaku elit politik. Mana yang katanya masa REFORMASI sebagai penegak dari Demokrasi? Apa iya ini yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat luas di Indonesia. Lalu contohnya lagi tentang partai koalisi yang malah menentang pemerintahan? Apakah mereka ini dibekali oleh suatu kemampuan yang kompenten? Atau mereka ini hanya preman-preman yang ingin kekuasaan. Program-program yang telah kalian buaat, apakah itu hanya sebuah goresan tinta di atas kertas putih? Sungguh riskan melihat wayang-wayang politik di Indonesia ini, yang katanya sebagai aspirasi rakyat. Hey bung, kami tidak bodoh lagi melihat anda.

Yang dapat dimpulkan adalah, sebenarnya kegagalan fungsi partai politik tersebut bukanlah suatu hal yang jarang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia masih mengalami masa transisi dari beberapa sistem politik untuk mencapai sistem yang stabil. Namun apabila partai politik gagal menjaga tugas dan fungsinya dengan baik, maka masa transisi tersebut hanya akan diwarnai oleh ketidakstabilan di bidang politik yang kemudian berimbas pada bidang sosial dan ekonomi. Secara sederhana rakyat akan melihat partai politik gagal dalam mengemban amanat rakyat dan hal itu akan menyebabkan rakyat menjadi apatis terhadap partai politik. Dampaknya adalah partisipasi rakyat dalam politik akan menurun tajam, dan mungkin saja kalau seperti ini terus, saat pemilihan gubernur, presiden dan sebagainya, masyarakat indonesia ini tidak akan memilih kalian, karna sungguh sangat kecewa kami dengan WAJAH ELIT POLITIK indonesia ini.[9]

  1. Kecenderungan Politik Islam Dalam Menyikapi Teori Elit Politik

Islam adaalah agama yang “rahmatan lil alamin”, Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah (“hablum minallah”) dan hubungan manusia dengan manusia (“hablum minannas”). Dan umat Islam harus mampu menterjemahkan hubungan itu untuk menjawab persoalan-persoalan sosial karena didalamnya tersedia etika-moral bagi manusia untuk bertindak.Menurut Dr. Tohari Musnawar, dalam ajaran Islam, istilah etika tidak sama dengan apa yang dipahami oleh para ilmuwan Barat. Etika Barat sifatnya antroposentrik (berpusat pada Tuhan). Karenanya dalam etika Islam suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan amal shaleh atau dosa, pahala atau siksa, surga atau neraka.

Inilah spirit cinta (Agape) Islam. Pandangan ini memungkinkan bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan kelak kepada Allah SWT. Al-Qur’an sebagai landasan agama Islam memang memungkinkan timbulnya pandangan pada masa depan. Orientasi ke depan Al-Qur’an itu, menurut Dawam Rahardjo, pertama-tama memunculkan pandangan yang dipengaruhi oleh visi eskatologis. Di satu sisi, visi itu menyebabkan eskatisme yang pesimis terhadap hidup ini, terutama berkaitan dengan kepercayaan akan datangnya Hari Kiamat. Di lain sisi, ia justru menimbulkan sikap yang progresif, yaitu adanya upaya untuk menjawab realitas sosial secara tegas sesuai dengan misi ketuhanan (Saleh, 1989: 14).Meskipun dianggap sebagai penahan atau pendukung perubahan, jawaban Islam terhadap realitas sosial (persoalan kemanusiaan) akan kembali pada bagaimana manusia menafsirkan dan menterjemahkan ajaran Islam, terutama dari teks Al-Qur’an dan Hadits. Kaitannya adalah dengan kepentingan manusia dalam aktivitas aktualnya di mana hubungan produksi sangat menentukan. Orang yang kaya cenderung akan menafsirkan Islam sesuai dengan pelanggengan kekuasaannya itu.

Hal inilah yang mengakibatkan adanya pemikiran Islam yang berbeda-beda. Umumnya pemikiran Islam itu merumuskan bagaimana hubungan Islam dengan politik (negara), serta relasi pemimpin (elit politik) dengan umat (masyarakat, rakyat). Dengan demikian, dalam kaitannya dengan perilaku elit ormas Islam dan elit politik Indonesia, pemikiran Islam yang membebaskan bisa digali kembali untuk kemudian mengaktualisasikan doktrin teologisnya bagi persoalan bangsa, negara, dan kemanusiaan.Kita masih teringat jaman Orde Baru di mana elit politik Islam adalah para penguasa dan juga komprador yang menindas (taqhut). Akomodasi dan representasi politik Islam di era Orde Baru benar-benar hanya membuat Islam sebagai alat legitimasi kekuasaan. Elit agama hanya digunakan sumber dukungan baik elit pusat maupun elit daerah. Setidaknya, menurut Muhammad Asfar, ada tiga fenomena yang menandai kenyataan hegemoni negara atas agama Islam.

Pertama, adanya fenomena kebulatan tekad yang dilakukan ulama. Seringkali dalam peristiwa pemilihan umum dan pencalonan presiden selalu didahului dengan kegiatan dukungan atau kebulatan tekad yang dilakukan ulama terhadap calon presiden atau wakilnya. Bahkan dalam situasi “kritis” dan menentukan ulama dapat dijadikan sebagai alat legitimasi (sumber dukungan) oleh pihak penguasa.

Kedua, fenomena sowan politik yang dilakukan ulama ke pejabat-pejabat tinggi baik pusat maupun daerah. Bahkan tindakan tersebut dianggap sebagai pijakan atau strategi perjuangan politik umat. Sowan politik ini—yang kadang juga merupakan kunjungan pejabat ke pesantren atau komunitas agama—dianggap mempunyai arti penting bagi kemaslahatan umat di bawahnya.Ketiga, adanya fenomena di kalangan ulama atau elit agama untuk mencari legitimasi ke pusat kekuasaan jika terjadi konflik di antara sesamanya. Sebagai kompensasinya, pencarian dukungan pada kekuasaan itu sama saja berarti memberi dukungan pada kekuasaan tanpa melihat bagaimana wajah kekuasaan yang dijalankan. Seringkali konflik kepentingan di antara elit organisasi massa Islam dicarikan legitimasi ke pemerintah, bukan diselesaikan dengan mekanisme demokratik berdasarkan suara dari bawah.

Fenomena usaha pendongkelan terhadap Gus Dur, gejala pasca mukhtamar Cipasung dengan munculnya sikap tidak puas kelompok Abu Hasan, misalnya, dicurigai banyak kalangan rekayasa pihak pemerintah Orde Baru.Bagaimana dengan kondisi saat ini?Meskipun Orde Baru tumbang, nampaknya elitisme Islam masih nampak meskipun dalam wajah yang lain. Islam yang elitis masih tampak kentara dalam berbagai fenomena elit dan organisasi Islam. Misalnya, dalam kasus “perebutan kekuasaan” di organisasi NU antara Gus Dur dan Hasyim Muzadi yang dasar perdebatannya bukanlah strategi pemberdayaan “rakyat NU” untuk menghadapi krisis kesejahteraan dan pemenuhan demokrasi dan HAM dalam ruang demokrasi yang relatif terbuka. Selain itu, perdebatan dalam pemikiran Islam yang manstreamnya didominasi antara dikotomi Islam fundamentalis dan Islam liberal, dan bukannya Islam pembebasan.

Yang terakhir ini, menurut saya, perdebatan pemikiran Islam telah mengkutub pada elitisme intelektual dari dua kubu, dan bukan pada fungsi Islam sebagai spirit praktek transformasi sosial untuk bersentuhan langsung dengan rakyat tertindas akibat penindasan kapitalisme global dan ekses-eksesnya. Dikotomi keduanya masuk dalam lingkaran setan yang disediakan oleh imperialisme (kapitalisme global) dan menggeser persoalan konkrit sosial-ekonomi masyarakat melulu pada persoalan elitisme pemikiran Islam. Hal yang sama juga cenderung terjadi pada intelektual Islam yang ada di parlemen. Mereka, misalnya, lebih suka memperdebatkan Piagam Jakarta dari pada bagaimana secepat mungkin untuk membuat kebijakan dan aturan yang pro-rakyat dan demokrasi. [10]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat penulis makalah ambil adalah:

  • Elit Politik yaitu adalah kelompok yang memilki kemampuan dalam mengatur suatu kelompok masyarakat
  • Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Sementara itu bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan.
  • Ellite, merupakan orang-orang yang berhasil yang mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Karena itu muncul pandangan Villfredo Pareto, maasyarakat terbagi atas dua kelas yaitu

(a). Lapisan atas, yaitu elit yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-goverming elite),

(b). Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit.

  • Dan beberapa Cara Elit Mempertahankan Kekuasaan diantaranya adalah dengan
  1. Intimidasi
  2. Ekslusivisme
  3. Formula Politik atau Resep-Resep Politik
  4. Dengan Cara Sirkulasi
  5. Dukungan Angkatan Bersenjata
  • Teori elite diarahakan untuk menentang sosialisme (khususnya sosialisme Marxist) dan sampai tingkat tertentu, Argumen ini diperkuas dengan menolak kemungkinan terwujudnya “masyarakat tanpa kelas”

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  • Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008. )
  • Varma. Sp Teori Politik Moderen, (Jakarta: Gramedia, 2007. )
  • Sitepu, P. Anthonius. Teori-Teori Politik ,Yogyakarta: Graha Ilmu , 2012

[1] Sitepu, P. Anthonius. Teori-Teori Politik ,Yogyakarta: Graha Ilmu , 2012.hlm 82

[2] http://biarhappy.wordpress.com/2011/04/11/teori-elite-politik/

[3] http://teoripolitikseverus.blogspot.com/2011/10/analisis-teori-elit-politik.html

[4] Sitepu, P. Anthonius. Teori-Teori Politik ,Yogyakarta: Graha Ilmu , 2012.hlm 82

[5] Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008. ) hlm 62

[6] Varma. Sp Teori Politik Moderen, (Jakarta: Gramedia, 2007. ) hlm 218

[7] http://gagasanhukum.wordpress.com/2011/07/07/membongkar-demokrasi-elitis/

[8] http://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/16/islam-28/

[9] http://sioweachmad.blogspot.com/2012/05/elit-politik-indonesia-di-era-14-tahun.html

[10] http://esaipolitiknurani.blogspot.com/2007/08/elit-politik-islam-das-sein-dan-das.html

Tinggalkan komentar